KPK dan Tekanan Politik

Penahanan para politisi yang terkait kasus ‘Miranda Gate’ memunculkan komentar miring. Sejumlah politisi separtai para tersangka itu menilai, penahanan itu kental nuansa politik.

Kebetulan, para politisi yang ditahan itu berasal dari partai-partai tertentu: PDIP yang telah menjadi partai oposisi dalam enam tahun terakhir, dan Partai Golkar serta PPP yang memiliki pasang-surut hubungan di dalam koalisi pemerintahan. KPK, kata mereka, telah bertindak tebang pilih.Mereka bertanya, “Kalau memang para politisi itu terkait kasus penyuapan, mengapa belum ada yang menjadi tersangka dari penyuapnya?” Selain itu, KPK juga dianggap diskriminatif di dalam mengatasi kasus-kasus korupsi. Yang sering dijadikan contoh adalah kasus ‘Century Gate’ yang sampai sekarang belum tuntas penanganannya.

Ujian KPK

Terlepas dari ada pihak-pihak yang tidak menyetujui keberadaannya, KPK merupakan lembaga pemberantasan korupsi yang paling dipercaya masyarakat. Sejak kelahirannya telah banyak pejabat, mulai dari bupati/wali kota sampai sejumlah mantan menteri, yang telah dipenjarakannya. Tidak hanya itu, para terdakwa yang ditangani KPK tidak ada yang bebas, berbeda dengan yang ditangani kejaksaan misalnya. Meski demikian, sejak setahun terakhir ini KPK didera banyak masalah.

Ketua KPK Antasari terkena kasus pembunuhan. Wakil ketua, Bibit dan Candra, pernah ditahan dan dijadikan tersangka karena dituduh terlibat kasus penyuapan. Praktis, lebih dari setahun terakhir ini kinerja KPK pincang. Gebrakan- gebrakan sebagaimana sebelumnya tidak terjadi. Belakangan komposisi komisioner KPK sudah kembali lengkap setelah masuknya Busyro. Bibit dan Candra memperoleh perlakuan khusus, deponeering dari kejaksaan, setelah publik menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan kepada keduanya penuh rekayasa dan publik melakukan penekanan-penekanan.

Konsekuensinya, publik menghendaki KPK bekerja lebih serius dan memperbaiki kinerjanya. Dalam minggu-minggu ini terdapat dua langkah penting yang diambil KPK. Pertama, KPK memutuskan terlibat di dalam penanganan kasus mafia pajak melalui pintu masuk kasus Gayus Tambunan. Kasus ini memperoleh perhatian yang sangat serius bukan semata-mata karena ulah Gayus yang bisa keluar-masuk penjara. Lebih dari itu, kasus ini juga diyakini bisa membuka tabir mafia pajak yang selama ini tertutup. Terdapat perkiraan, uang pajak yang bocor cukup besar.

Ada yang memperkirakan sekitar Rp300 triliun setiap tahun. Angka ini jelas sangat besar, sekitar seperempat APBN. Angka ini setara dengan sekitar APDB kabupaten/kota se-Indonesia. Sekiranya angka itu benar dan uangnya dipakai sebagai penstimulus pertumbuhan ekonomi di daerah, akselerasi peningkatan kesejahteraan rakyat akan lebih cepat lagi. Hanya saja, mengingat besarnya angka kebocoran pajak dan benang kusut yang melingkupinya, sulit mengharapkan KPK bisa mengatasinya dalam waktu cepat.

Belajar dari kasus korupsi para kepala daerah, kita mengetahui bahwa banyaknya penahanan kepala daerah tidak serta-merta mengurangi kasus korupsi di daerah. Tetapi, masuknya KPK ke kasus mafia pajak, paling tidak, bisa menjadi awalan yang sangat serius untuk mengatasi kebocoran pajak selain reformasi birokrasi di kantor pajak. Kedua, penahanan para politisi yang dituduh terlibat ‘Miranda Gate’.

Langkah KPK ini cukup serius karena yang dipenjarakan adalah para politisi dari dua partai besar (Golkar dan PDIP) plus partai ‘tengahan’ PPP. Meski demikian, langkah KPK itu masih terasa pincang karena yang ditahan baru sebatas para penerima suap. Dua ‘Srikandi’ yang terlibat dalam pemberi suap masih bisa bernafas lega di luar penjara. KPK telah berjanji untuk mengusut secara serius para pemberi suapnya.

Tekanan Politik?

Dua langkah KPK itu sebenarnya tidak berdiri sendiri. Langkah itu tidak lepas dari upaya untuk memperbaiki kepercayaan publik terhadap institusi penegakan hukum di Indonesia yang belakangan ini menurun drastis. Penurunan ini pula yang dijadikan sebagai salah satu bukti oleh para pengkritik bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan. Akibat kritikan itu, Presiden gerah juga dan berusaha mendorong lembaga-lembaga penegakan hukum untuk bekerja lebih serius.

Maka, kepolisian, misalnya, lalu menjadikan Cirus sebagai tersangka, dan bersama-sama kejaksaan lebih aktif mengusut kasus Gayus. KPK akhirnya masuk kasus Gayus dan menangkap para politisi yang terlibat kasus suap Miranda itu. Dengan kata lain, keseriusan KPK dan lembaga penegak hukum lainnya itu tidak lepas dari tekanan-tekanan politik. Berkaitan dengan dugaan bahwa KPK telah bermain politik sebenarnya bukan suatu yang baru. Tuduhan semacam ini sudah lama ada jauh hari sebelum penangkapan para politisi itu.

Misalnya saja, KPK acapkali dituduh telah melakukan aksi tebang pilih yakni menangani kasus tertentu dan tidak yang lain. Menghadapi tuduhan semacam itu, KPK tidak perlu membeda diri. Yang perlu dilakukan adalah, KPK terus konsisten sebagai pilar terdepan di dalam pemberantasan korupsi, menghindari pemihakan terhadap orang atau kelompok tertentu. Upaya semacam itu tidak akan mudah memang.

Komisi III DPR misalnya telah melakukan aksi pembalasan terhadap KPK. Melalui voting mereka menolak kehadiran Bibit- Chandra dalam RDP di Gedung DPR. Para anggota DPR itu memang menolak aksi itu disebut sebagai balas dendam terhadap kasus penangkapan sejumlah anggota DPR. Aksi itu merupakan wujud dari pandangan tentang ketidaksetujuan mereka terhadap keputusan kejaksaan yang melakukan deponeering terhadap kasus Bibit-Candra.

Namun, sudah bukan rahasia lagi bahwa tidak semua anggota DPR senang terhadap tindakan tegas KPK. Di antara mereka bahkan secara terang-terangan mengancam untuk mengurangi anggaran KPK. Ancaman demikian merupakan bagian dari proses perlawanan terhadap KPK dan upaya untuk memperlemah lembaga yang ditakuti banyak orang itu. Adanya perlawanan, termasuk tekanan-tekanan politik semacam itu, sebenarnya wajar-wajar saja terjadi sepanjang dilakukan secara terbuka.

Melalui keterbukaan, masyarakat bisa menilai kelompok-kelompok mana yang memiliki keseriusan di dalam pemberantasan korupsi dan mana yang tidak. Selain itu, ketika hal itu dilakukan secara terbuka, publik juga bisa terlibat di dalamnya. Publik misalnya bisa melakukan dukungan terhadap KPK manakala lembaga ini memperoleh serangan balik dari lawan-lawannya.

Sementara itu, manakala KPK terlihat kurang bersemangat, publik bisa melakukan penekanan-penekanan agar lebih serius di dalam melakukan pekerjaannya. Yang pasti, korupsi masih menjadi salah satu penyakit utama di Indonesia. Gerakan antikorupsi secara sistematis dan terstruktur perlu terus dilakukan. KPK masih memiliki PR untuk menyelesaikan kasus-kasus besar. Sementara itu, anggota masyarakat dituntut memberi dukungan terhadapnya. Bagaimanapun, ketika korupsi diatasi, yang paling beruntung adalah anggota masyarakat sendiri.(*)

Prof Kacung Marijan
Guru Besar Ilmu Politik FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya

Share


RESENSI
buku

Kisah Kasihan dalam Perang

Seorang wartawan perang asal Indonesia tergugah rasa kemanusiaannya tatkala dimintai tolong oleh Tuyet. Si gadis Vietnam yang tidak berdaya didesak pihak penguasa untuk menyetor sejumlah uang suap bila ingin ayahnya dibebaskan dari penjara.
SURAT KEBON SIRIH
buku

Redesain okezone: 'Klik-Klik Welcomepage Kami'

Hampir setiap pembaca, advertiser atau rekan sejawat kami mengeluhkan tampilan okezone yang berat dan susah dibaca. Itulah alasan kami untuk melakukan perubahan dan perbaikan.